Sabtu, 27 Juli 2024

Breaking News

  • Ketua Umum FKPMR dan PPMR Dipanggil Polda Riau, Ini Respon Keras Fauzi Kadir dan Robert Hendrico   ●   
  • Pemprov Siapkan Bonus Rp40 M Untuk Atlet Peraih Medali PON XXI Aceh-Sumut   ●   
  • Pj Gubri Usulkan Erisman Yahya Jadi Calon Pj Bupati Inhil   ●   
  • BMKG: 45 Hotspot Terdeteksi di Riau, Rokan Hilir Terbanyak   ●   
  • Tokoh FKPMR & PPMR Gercep Antarkan Langsung Aspirasi Rakyat Riau ke 3 Parpol ke Episentrum Kekuasaan Jakarta   ●   
OPINI
Susilo Bambang Yudhoyono, antara Bapak Demokrasi versus Bapak Pengkhianat Demokrasi
Senin 12 Februari 2024, 20:12 WIB
Dr. Syahganda Nainggolan

Surprise buat saya pagi tadi melintasi jalan Lenteng Agung (LA) Jakarta Selatan. Tepat di jembatan penyeberangan orang (JPO) antara stasiun  LA dan pasar terpasang spanduk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menutup JPO itu. Besarnya kira-kira 1,5x10 m2. Menariknya spanduk itu bertuliskan "Masih Ingat Saya Kan?".

Dalam "top of mind" seluruh rakyat kita SBY seharusnya adalah Bapak Demokrasi kita. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sejarah mengatakan demikian. Berbeda dengan Prabowo di masa karir tentaranya, SBY sejak kolonel sudah mendorong tema-tema demokrasi di Indonesia. Ketika dia menjadi Danrem di Yogyakarta, seluruh aktifis gerakan mahasiswa anti rezim otoriter Suharto ditangani SBY secara dialog, tidak ada kekerasan.

Pada tahun 1998, ketika SBY menjadi Ka Sosial Politik TNI atau Aster, SBY mendorong posisi TNI yang selama 30 tahun menjalankan praktek dwi-fungsi,  yakni mengontrol juga kehidupan politik, menjadi  ke arah tentara profesional. Tentara tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan politik. Tentara cukup sebagai kekuatan negara yang berhadapan dengan kekuatan asing dan bila dibutuhkan polisi, atau pemerintah, dapat diperbantukan.

Lebih hebat lagi, ketika SBY menjadi presiden, dia menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF). BDF ini menjadi kejutan bagi dunia karena negara yang hadir berkembang dari Beberapa negara menjadi 86 negara pada BDF IV. Pembicaraan demokrasi di Asia menjadi diskursus penting. Dan SBY menjadi tokoh sentral dalam isu demokrasi di Asia kala itu.

Apakah SBY Masih Seperti Dulu?

Melihat spanduk di JPO Lenteng Agung itu, apakah kita masih mengingat SBY seperti itu? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab. Sebab, di satu sisi SBY mendukung Prabowo-Gibran, yang jelas-jelas dipersepsikan merusak demokrasi. Khususnya terkait keputusan MKMK dan DKPP terkait pencalonan Gibran yang melanggar etika.

Dalam ukuran pemilu yang demokratis, sudah pasti SBY tidak mungkin bisa membenarkan berbagai langkah-langkah rezim Jokowi yang (berpotensi) curang dalam kemenangan Prabowo-Gibran. Apalagi jika fakta-fakta kecurangan itu merujuk pada film "Dirty Vote" yang sedang viral. Namun, tampaknya SBY belum memberikan sikap tegas terkait potensi kecurangan pemilu ini.

Memang SBY memberikan angin segar ketika beliau bersikap positif atas sikap kritis kalangan civitas akademika yang heboh belakangan ini, terkait penegakan demokrasi. Menurut SBY, suara-suara kampus itu tidak boleh diabaikan. Namun, sikap ini sesungguhnya masih terlalu lembut, jika merujuk SBY sebagai Bapak Demokrasi. Memang SBY harus diapresiasi karena meminta pemilu jangan curang. Namun, mengapa SBY tidak mengutuk sekeras-kerasnya upaya pelemahan demokrasi di era pilpres ini? Bukankah kecurangan demi kecurangan terencana secara sistematis? Apakah SBY tersandera kepentingan partai dan anaknya?

Inilah dilema dalam mengingat SBY. Apakah kita mengingat SBY sebagai Bapak Demokrasi? Ataukah SBY menjadi Bapak Pengkhianat Demokrasi? Namun, dengan sisi positifnya, yakni SBY mengapresiasi kelompok-kelompok Professor kritis dan keinginan SBY agar pemilu berjalan dengan demokratis dan jangan curang, masih menyisakan harapan untuk mengenang SBY sebagai suhunya demokrasi kita.

Penutup

SBY dan demokrasi merupakan ibarat koin dengan dua sisinya. Namun, ketika SBY menginginkan orang mengingatnya, apa yang harus kita katakan? Apakah SBY Bapak Demokrasi? Atau justru SBY sedang mengkhianati demokrasi?

Ketegasan SBY untuk mengutuk berbagai (potensi) kecurangan pilpres harusnya ditunjukkan lebih keras lagi. Langkah SBY mengapresiasi gerakan kampus yang kritis serta minta pemilu tidak curang, tentu perlu diapresiasi pula. Mudah-mudahan kita tetap mengenang SBY sebagai Bapak Demokrasi kita.

 

 

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

 




Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com


Komentar Anda
Berita Terkait
 
 


About Us

Berazamcom, merupakan media cyber berkantor pusat di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Indonesia. Didirikan oleh kaum muda intelek yang memiliki gagasan, pemikiran dan integritas untuk demokrasi, dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kata berazam dikonotasikan dengan berniat, berkehendak, berkomitmen dan istiqomah dalam bersikap, berperilaku dan berperbuatan. Satu kata antara hati dengan mulut. Antara mulut dengan perilaku. Selengkapnya



Alamat Perusahaan

Alamat Redaksi

Perkantoran Grand Sudirman
Blok B-10 Pekanbaru Riau, Indonesia
  redaksi.berazam@gmail.com
  0761-3230
  www.berazam.com
Copyright © 2021 berazam.com - All Rights Reserved
Scroll to top