Jakarta, Berazam.com : Pusat Ekonomi dan Sumber Daya Alam (PUSESDA) mengkritik pencabutan 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang dibentuk melalui Kepres No. 1/2022.
Ketua Pusesda, Ilham Rifky, menyatakan bahwa pencabutan ini dilakukan tanpa proses administrasi berjenjang dan mengabaikan tugas pengawasan serta pembinaan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hal ini menimbulkan masalah kompleks di berbagai aspek, seperti ekonomi, hukum, lingkungan, dan sosial.
"Dalam segi ekonomi, pencabutan IUP ini menghilangkan potensi penerimaan negara dari sektor pajak dan bukan pajak. Secara hukum, tindakan ini juga dilakukan tanpa prosedur sesuai peraturan dan menciptakan ketidakpastian bagi para pelaku usaha. Dari sisi lingkungan, pencabutan IUP dapat meningkatkan risiko lingkungan yang tidak terkelola dengan baik, terutama terkait dampak negatif seperti pencemaran. Selain itu, keputusan ini juga berdampak serius pada pemutusan hubungan kerja baik pada IUP yang dicabut juga pada usaha penunjangnya.," ungkap Ilham dalam siaran persnya, Sabtu (6/1/2024).
Para pelaku usaha yang izinnya dicabut sebagian besar melalui dua cara untuk memulihkan IUP, yaitu klarifikasi di BKPM dan mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 'Namun, klarifikasi di BKPM untuk memulihkan IUP tidak pernah diatur dalam hukum pertambangan, sehingga menciptakan kekosongan hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum," terang Ilham.
Selain itu, melalui gugatan di PTUN, terungkap ada ketidaksesuaian atas tindakan Satuan Tugas dalam prosedur pencabutan, sehingga semua gugatan dikabulkan oleh Majelis Hakim. "Hal ini menunjukkan adanya cacat prosedur dan cacat kewenangan dari Satuan Tugas yang dibentuk," imbuhnya.
Kritik juga disampaikan terhadap Perpres No. 70/2023 yang mengatur "distribusi" IUP hasil pencabutan kepada Badan Usaha, Koperasi, dan Ormas. Pemberian IUP hasil pencabutan dari suatu badan usaha kepada badan usaha lain belum pernah diatur dalam undang-undang pertambangan.
Lebih lanjut, Ilham Rifky menyatakan bahwa pemberian IUP kepada Ormas patut diduga menjadi salah satu bentuk "mahar" transaksi politik. Selain itu, terdapat delegasi kewenangan yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 96/2021 yang mengatur tentang lelang WIUP.
Penambahan aspek pemberian IUP kepada Ormas dan delegasi kewenangan dalam Perpres No. 70/2023 dinilai memberikan dimensi baru dalam regulasi sektor pertambangan. Keselarasan antara tindakan pemerintah dan norma hukum menjadi aspek kritis dalam menjaga keadilan dan kepastian hukum. "Ketidaksesuaian kewenangan dengan aturan yang berlaku dan cacat dalam prosedur dapat merugikan para pemangku kepentingan dan merongrong prinsip negara hukum," pungkas Ilham Rifky.
Editor: Yanto Budiman