
Pekanbaru, berazamcom - Ratusan mahasiswa dari Universitas Riau (Unri) mengaku kecewa atas keputusan hakim yang memvonis bebas terdakwa Syafri Harto atas kasus dugaan pelecehan seksual. "Kami kecewa luar biasa terkait putusan hakim yang memvonis terdakwa Syafri Harto bebas dalam dugaan pelecehan seksual," ucap salah satu orator dari mahasiswa Unri yang memadati kantor Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, dikutip dari laman cakaplah, Rabu (30/3).
Semua mahasiswa yang hadir guna mengawal persidangan tersebut, mengaku merasa sangat menyesalkan atas keputusan hakim. "Semua yang hadir di sini merasakan kepedihan. Kita tidak akan selesai sampai di sini, perjuangan kita masih belum selesai, akan kita lanjutkan perjuangan ini," ucapnya.
Sebelumnya diberitakan, ratusan mahasiswa Universitas Riau (Unri) padati Jalan Teratai tepatnya di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Mereka mengawal jalannya sidang pembacaan vonis terdakwa dugaan pencabulan, Syafri Harto. Mengenakan jaket almamater, para mahasiswa berkumpul di depan Kantor PN Pekanbaru.
Namun, selain mahasiswa, juga ada sejumlah warga tampak di lokasi yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Keadilan.
Warga tersebut membentangkan dua spanduk berukuran besar. Diyakini mereka memberikan dukungan terhadap Dekan FISIP Unri nonaktif tersebut.
"Betapa pun tajamnya pedang keadilan Ia tidak memenggal kepala orang yang tidak bersalah. Ayo tegakkan keadilan," bunyi tulisan salah satu spanduk yang dibentangkan di depan PN Pekanbaru.
Vonis Bebas
Pada sidang siang ini, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unri nonaktif, Syafri Harto, akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Rabu (30/3/2022).
Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana pencabulan terhadap korban L (21). Vonis dibacakan majelis hakim yang diketuai Estiono. Sidang digelar secara virtual dengan majelis hakim berada di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan dan terdakwa di Rutan Polda
Riau.
Majelis hakim menyatakan terdakwa tidak bersalah sesuai dakwaan primer Pasal 289 KUHPidana dan dakwaan subsider. Tidak cukup dua alat bukti untuk menghukum terdakwa.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Syafri Harto tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan primer dan subsider. Membebaskan terdakwa, memerintahkan penuntut umum mengeluarkan dari tahanan. Memberikan hal terdakwa memulihkan hak dan martabatnya," kata hakim.
Atas vonis tersebut, JPU menyatakan pikir-pikir untuk menentukan langkah hukum selanjutnya. Sementara terdakwa menerima putusan tersebut.
Secara terpisah, Ketua Advokasi Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) Fisipol Unri, Agil Fadlan menyatakan kekesalannya atas putusan hakim tersebut. Dia dengan lantang mengatakan kalau pengadilan bukan lagi tempat untuk mendapatkan keadilan.
"Kami mahasiswa Unri dan seluruh masyarakat Indonesia kecewa atas putusan hakim. Hari ini dapat kita dengar ketidakadilan datang dari ruang pengadilan. Pengadilan bukanlah tempat mencari keadilan bagi penyintas pelecehan seksual. Untuk itu, kami mendesak jaksa untuk melakukan upaya hukum banding (kasasi)," tegasnya.
Amicus Curiae
Sebelumnya, pada Selasa (29/3) kemarin, KOMAHI (Korps Mahasiswa Hubungan Internasional) Fisipol Unri telah menyerahkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) yang telah disusun oleh ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mengenai kasus dugaan Kekerasan Seksual ini ke Pengadilan Ngeri i Pekanbaru.
KOMAHI menyerahkan 5 rangkap Amicus Curiae tersebut untuk diserahkan kepada 3 Majelis hakim, Ketua PN Pekanbaru, dan Panitera perkara tersebut. Epilog dari Amicus Curiae sebanyak 17 halaman itu adalah: Meminta hakim yang mulia untuk menjatuhkan pidana yang proporsional sesuai dengan perbuatan terdakwa yang diduga telah
memenuhi unsur-unsur Pasal 289 atau 294 ayat (2) KUHP.
Selain itu, Amicus Curiae ini juga memberikan analisis gender sesuai dengan PERMA No.3 Tahun 2017 sehingga dapat membantu hakim dalam pertimbangannya tidak menyalahkan atau menyudutkan korban dan diharapkan majelis dapat menolak pembelaan dari penasihat hukum terdakwa yang menggali riwayat hidup korban dengan narasi yang merendahkan korban. Bahwa hakim juga diharapkan dapat memahami kekerasan harus dimaknai dengan hati-hati, meskipun tidak ada secara fisik akan tetapi kekerasan psikologis bagi korban.
Dalam amicus curiae ini juga menjelaskan tentang ketimpangan relasi kuasa antara korban dengan terdakwa. “Pertama tentunya kami berterima kasih kepada ICJR yang telah
bersedia menyusun Amicus Curiae untuk kasus ini, Kemudian kami berharap Amicus Curiae ini dapat membantu hakim sebagai tambahan referensi yang dibutuhkan dalam memutus perkara ini.” ujar Muhammad Farhan, Anggota KOMAHI yang menyerahkan AC (Amicus Curiae) dalam siaran pers yang diterima media ini, Selasa (29/3).
Dikatakan Farhan, KOMAHI dan mahasiswa lainnya yang terus mengawal kasus ini kecewa dengan penundaan sidang putusan pada hari ini. "Namun, atas penundaan itu kami berharap agar hakim benar-benar mempertimbangkan secara matang dan adil untuk penyintas, dengan menghukum terdakwa secara adil. Kami akan terus datang mengawal persidangan ini walau harus seribu kali ditunda, sebagai bentuk solidaritas kami terhadap penyintas kekerasan seksual, bahwa ia tidak sendirian," pungkasnya.(tim).