Kendari, berazamcom-Tepat pukul 17.00 Waktu Indonesia Tengah (Wita) roda pesawat Citylink mendarat mulus di Bandara Haluoleo Kabupaten Konake Selatan (Konsel) Provinsi Sulawesi Tenggara, Senin (7/2/22). Kami take off dari Bandara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng pukul 13.00 WIB. Antara Pekanbaru dan Kendari berbeda waktu satu jam.
Dalam perjalanan dari bandara ke hotel E Blitz tempat kami menginap, si Ege, sopir yang membawa kami bercerita tentang perkembangan Kabupaten Konsel dan kotamadya Kendari secara umum. Mulai dari pembangunannya hingga produk yang menjadi ciri khas Kendari yang kalau sudah datang ke Kendari belum lengkap kalau tidak membawa oleh oleh kacang mete dan kain songket. Setelah itu, kami yang penasaran dengan nama Haluoleo, lalu bertanya kepada si Ege 'bagaimana ceritanya kok nama Bandara nya Haluoleo'.
Sepengetahuan si Ege, nama Haluoleo resmi digunakan sebagai nama Bandara sejak awal tahun 2010 menggantikan nama Wolter Mongonsidi. "Haluoleo seorang kesatria yang lahir dari rahim seorang permaisuri Raja klanitu, setelah sembilan hari ketubannya pecah. Haluoleo artinya 8 hari: halo artinya 8 dan oleo, hari," kata si Ege.
Namun, menelusuri jejak sejarah Haluoleo tidak semudah yang dibayangkan. Haluoleo lebih dikenal dalam tradisi lisan yang melahirkan beberapa versi cerita yang berbeda satu sama lain.
Dilansir dari google, sebuah penelitian oleh Rustam Tamburaka, dosen yang juga politisi, mengungkapkan bahwa Haluoleo adalah orang yang sama dari penyebutan nama La Kilaponto, Murhum dan La Tolaki. La Kilaponto, dikenal sebagai seorang raja yang pernah memimpin di lima kerajaan besar di jazirah Sulawesi Tenggara pada masa silam.
Pada masa sekitar abad 17, terdapat ratusan kerajaan dan dari sekian kerajaan itu sekurang-kurangnya terdapat lima kerajaan besar sebagai kerajaan induk dan kelimanya pernah dipimpin oleh La Kilaponto yakni Kerajaan Buton, Kerajaan Wuna, Kerajaan Kaledupa, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Moronene. La Kilaponto diterima sebagai raja di setiap kerajaan yang dipimpinnya bukan semata-mata karena kharismatik jiwa kepemimpinannya, tetapi juga karena kedekatan hubungan keluarga dengan raja-raja di tempat dia diangkat menjadi raja.
Dia tidak saja memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja besar di Sulawesi Tenggara, akan tetapi lebih jauh juga memiliki hubungan dengan raja-raja Bugis, Jawa dan China. Nama La Kilaponto umumnya lebih dikenal di kalangan masyarakat Muna (salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara). La Kilaponto adalah putra Raja Muna keenam bernama Sugi Manuru.
Nama Murhum populer di di kalangan masyarakat Buton karena Murhum adalah gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Sultan Buton.
Sementara La Tolaki adalah nama gelar yang diberikan kepada La Kilaponto setelah diangkat menjadi Mokole (raja) di Konawe (kini salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara).
Semasa hidupnya, Haluoleo atau La Kilaponto dikenal sebagai ksatria yang berani, gigih dan tak kenal menyerah membela tanah tumpah darahnya. La Kilaponto pernah memimpin perlawanan terhadap perompak laut yang pada masa itu sering mengganggu di sekitar perairan Flores-Selayar. Konon ia bertempur dengan kelompok bajak laut Tobelo di laut lepas hingga terdampar sampai di Pulau Marege, Australia. Bajak laut Tobelo sebagian terdiri dari orang-orang Portugis dan kerap menggangu aktivitas pelayaran pengangkutan rempah-rempah di wilayah timur nusantara baik di Sulawesi Tenggara maupun Sulawesi Selatan.
Haluoleo saat ini memang belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena rekam jejaknya sebagai pejuang nusantara masih terus digali. Namun, bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, Haluoleo adalah tokoh pemersatu yang menginspirasi. Haluoleo adalah pahlawan bagi masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari banyak suku dan hidup tersebar di wilayah yang berciri kepulauan.***
[]bazm