Hutan Hancur, PERMADAS Minta Gakkum Kementerian LHK Unjuk Gigi di Riau
Senin 18 Desember 2017, 15:45 WIB
Raya Nainggolan, Ketua PERMADAS Riau
PEKANBARU, BERAZAM--Perhimpunan Masyarakat Agraria dan Desa (PERMADAS) meminta Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk serius melakukan penegakan hukum kepada pelaku perambahan kawasan hutan di Riau. Sejauh ini, Gakkum belum menunjukkan performance yang baik untuk menjerat pelaku alih fungsi hutan secara ilegal ke meja hukum.
"Kita belum melihat adanya upaya yang serius dan massif dari Gakkum KLHK dalam melakukan penegakan hukum kehutanan dan lingkungan hidup di Riau. Masih sekadar tambal sulam dan kasuistik, belum tersistematis. Padahal, faktanya di lapangan sudah jelas terjadi perambahan kawasan hutan secara terstruktur, sistemik dan massif," kata Ketua Umum PERMADAS, Raya Desmawanto, Senin (18/12/2017) di Pekanbaru.
Ia menjelaskan, seharusnya Gakkum yang kini sudah berada dalam level eselon II di Kementerian LHK berani menggunakan kewenangan konstitusinya untuk melakukan penegakan hukum secara tegas dan tidak tebang pilih. PERMADAS meyakini Gakkum memiliki data yang lengkap soal terjadinya alih fungsi kawasan hutan di Riau yang menyalahi undang-undang.
"Tanpa adanya shock therapy dan langkah-langkah radikal serta terobosan dalam penegakan hukum sektor kehutanan dan lingkungan hidup, maka Gakkum KLHK akan dinilai publik sebagai institusi yang tidak melakukan perannya secara optimal. Ini akan mendegradasi tingkat kepercayaan publik sekaligus memupus harapan publik akan keberadaan Gakkum KLHK," kata Raya Desmawanto.
"Padahal, Gakkum dengan segala kewenangan yang dimilikinya pada awalnya membuka harapan publik atas penegakan hukum di sektor kehutanan dan lingkungan hidup," tambahnya.
Menurutnya, langkah penegakan hukum tanpa tebang pilih menyangkut kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup sesungguhnya hanya memerlukan keberanian dan political will semata. KLHK diyakini memiliki data dan fakta yang lengkap soal ini. Cukup hanya dengan melihat peta kehutanan dan membandingkan dengan kondisi objektif lapangan, maka akan ketahuan telah terjadi kasus kejahatan kehutanan yang massif.
"KLHK pasti memiliki data yang lengkap dan akurat. KLHK memiliki peta yang sah disertai dengan personil yang ahli dalam bidang hukum, kehutanan dan lingkungan hidup. Sebenarnya, hanya tinggal melakukan tindakan lapangan saja. Secara hukum, kewenangan Gakkum cukup jelas dan konkret. Namun, sejauh ini kita tidak melihat terobosan yang nyata dilakukan," kata Raya.
Raya mencontohkan kasus alih fungsi kawasan Tahura Sultan Syarif Hassim, perambahan Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Balai Raja yang secara nyata telah disulap peruntukkannya untuk kegiatan dan fungsi di luar fungsi kawasan hutan. Namun, sejauh ini belum ada langkah-langkah taktis dan strategis dari Gakkum KLHK untuk menertibkan kawasan itu dari para perambah.
Tidak tegasnya penegakan hukum oleh Gakkum KLHK, membuat aksi-aksi perambahan hutan kian massif dan membabi-buta.
"Ada banyak kejadian perambahan hutan yang kesannya dibiarkan begitu saja. Tak hanya di kawasan hutan produksi, namun juga di kawasan konservasi dan kawasan lindung," jelas Raya.
Menurutnya, Gakkum KLHK sebaiknya tak hanya fokus pada kasus-kasus kebakaran hutan lahan semata. Namun, secara konsisten juga aktif melakukan penegakan hukum bagi perambah hutan.
Raya menjelaskan, perambahan hutan secara ilegal, baik yang dilakukan oleh korporasi maupun kelompok masyarakat dan individu dalam luasan yang besar, telah menimbulkan ketidak-adilan yang serius dalam penguasaan agraria/ pertanahan. Di satu sisi, rakyat kecil yang ingin ikut merasakan keberadaan hutan ditekan secara keras, namun di sisi lain pelaku perambahan hutan secara luas belum tersentuh.
"Ketimpangan dan kesenjangan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan, baik yang ilegal maupun ilegal, telah membangun kondisi ketidak-adilan agraria yang serius dan memprihatinkan. Pemodal menikmati kekayaan yang bertumpuk, sementara warga kecil masih hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan," kata Raya.
Menurutnya, Gakkum mestinya menempuh upaya hukum untuk mengambil alih penguasaan kawasan hutan secara tidak sah dari pihak-pihak yang menikmati hasil perambahan hutan tersebut. Pengambil-alihan kawasan hutan itu sebagai wujud eksistensi kewibawaan negara yang berdaulat dan kuat atas sektor-sektor strategis, seperti tanah dan kehutanan.
"Bukankah dalam konstitusi pasal 33 disebutkan bahwa negara berdaulat dan berkuasa atas tanah dan segala isinya," kata Raya.
PERMADAS, kata Raya mendukung sepenuhnya kebijakan reforma agraria yang sudah digariskan secara tegas oleh Presiden Joko Widodo. Ia berharap, pembumian reforma agraria yang sudah dicanangkan dalam janji suci Nawacita pemerintahan Jokowi dapat diwujudnyatakan secara efektif dan berkeadilan. Pengambil-alihan kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah, akan bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan program reforma agraria tersebut.
"Penegakan hukum untuk mengambil alih kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah, akan membuka jalan terwujudnya reforma agraria dan redistribusi tanah yang berkeadilan untuk rakyat," pungkas Raya. (*)
RILIS
"Kita belum melihat adanya upaya yang serius dan massif dari Gakkum KLHK dalam melakukan penegakan hukum kehutanan dan lingkungan hidup di Riau. Masih sekadar tambal sulam dan kasuistik, belum tersistematis. Padahal, faktanya di lapangan sudah jelas terjadi perambahan kawasan hutan secara terstruktur, sistemik dan massif," kata Ketua Umum PERMADAS, Raya Desmawanto, Senin (18/12/2017) di Pekanbaru.
Ia menjelaskan, seharusnya Gakkum yang kini sudah berada dalam level eselon II di Kementerian LHK berani menggunakan kewenangan konstitusinya untuk melakukan penegakan hukum secara tegas dan tidak tebang pilih. PERMADAS meyakini Gakkum memiliki data yang lengkap soal terjadinya alih fungsi kawasan hutan di Riau yang menyalahi undang-undang.
"Tanpa adanya shock therapy dan langkah-langkah radikal serta terobosan dalam penegakan hukum sektor kehutanan dan lingkungan hidup, maka Gakkum KLHK akan dinilai publik sebagai institusi yang tidak melakukan perannya secara optimal. Ini akan mendegradasi tingkat kepercayaan publik sekaligus memupus harapan publik akan keberadaan Gakkum KLHK," kata Raya Desmawanto.
"Padahal, Gakkum dengan segala kewenangan yang dimilikinya pada awalnya membuka harapan publik atas penegakan hukum di sektor kehutanan dan lingkungan hidup," tambahnya.
Menurutnya, langkah penegakan hukum tanpa tebang pilih menyangkut kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup sesungguhnya hanya memerlukan keberanian dan political will semata. KLHK diyakini memiliki data dan fakta yang lengkap soal ini. Cukup hanya dengan melihat peta kehutanan dan membandingkan dengan kondisi objektif lapangan, maka akan ketahuan telah terjadi kasus kejahatan kehutanan yang massif.
"KLHK pasti memiliki data yang lengkap dan akurat. KLHK memiliki peta yang sah disertai dengan personil yang ahli dalam bidang hukum, kehutanan dan lingkungan hidup. Sebenarnya, hanya tinggal melakukan tindakan lapangan saja. Secara hukum, kewenangan Gakkum cukup jelas dan konkret. Namun, sejauh ini kita tidak melihat terobosan yang nyata dilakukan," kata Raya.
Raya mencontohkan kasus alih fungsi kawasan Tahura Sultan Syarif Hassim, perambahan Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Balai Raja yang secara nyata telah disulap peruntukkannya untuk kegiatan dan fungsi di luar fungsi kawasan hutan. Namun, sejauh ini belum ada langkah-langkah taktis dan strategis dari Gakkum KLHK untuk menertibkan kawasan itu dari para perambah.
Tidak tegasnya penegakan hukum oleh Gakkum KLHK, membuat aksi-aksi perambahan hutan kian massif dan membabi-buta.
"Ada banyak kejadian perambahan hutan yang kesannya dibiarkan begitu saja. Tak hanya di kawasan hutan produksi, namun juga di kawasan konservasi dan kawasan lindung," jelas Raya.
Menurutnya, Gakkum KLHK sebaiknya tak hanya fokus pada kasus-kasus kebakaran hutan lahan semata. Namun, secara konsisten juga aktif melakukan penegakan hukum bagi perambah hutan.
Raya menjelaskan, perambahan hutan secara ilegal, baik yang dilakukan oleh korporasi maupun kelompok masyarakat dan individu dalam luasan yang besar, telah menimbulkan ketidak-adilan yang serius dalam penguasaan agraria/ pertanahan. Di satu sisi, rakyat kecil yang ingin ikut merasakan keberadaan hutan ditekan secara keras, namun di sisi lain pelaku perambahan hutan secara luas belum tersentuh.
"Ketimpangan dan kesenjangan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan, baik yang ilegal maupun ilegal, telah membangun kondisi ketidak-adilan agraria yang serius dan memprihatinkan. Pemodal menikmati kekayaan yang bertumpuk, sementara warga kecil masih hidup dalam kemiskinan yang berkelanjutan," kata Raya.
Menurutnya, Gakkum mestinya menempuh upaya hukum untuk mengambil alih penguasaan kawasan hutan secara tidak sah dari pihak-pihak yang menikmati hasil perambahan hutan tersebut. Pengambil-alihan kawasan hutan itu sebagai wujud eksistensi kewibawaan negara yang berdaulat dan kuat atas sektor-sektor strategis, seperti tanah dan kehutanan.
"Bukankah dalam konstitusi pasal 33 disebutkan bahwa negara berdaulat dan berkuasa atas tanah dan segala isinya," kata Raya.
PERMADAS, kata Raya mendukung sepenuhnya kebijakan reforma agraria yang sudah digariskan secara tegas oleh Presiden Joko Widodo. Ia berharap, pembumian reforma agraria yang sudah dicanangkan dalam janji suci Nawacita pemerintahan Jokowi dapat diwujudnyatakan secara efektif dan berkeadilan. Pengambil-alihan kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah, akan bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan program reforma agraria tersebut.
"Penegakan hukum untuk mengambil alih kawasan hutan yang dikuasai secara tidak sah, akan membuka jalan terwujudnya reforma agraria dan redistribusi tanah yang berkeadilan untuk rakyat," pungkas Raya. (*)
RILIS
Untuk saran dan pemberian informasi kepada berazam.com, silakan kontak ke email: redaksi.berazam@gmail.com
Berita Pilihan
Rabu 15 Mei 2024
Edy Natar Nasution Kembali Berkomitmen Politik, Kembalikan Formulir Pendaftaran ke PAN Riau
Jumat 08 Maret 2024
Stikes Tengku Maharatu Wisuda Lagi 231 Sarjana Kesehatan dan Profesi Ners
Senin 22 Januari 2024
Letakan Batu Pertama, Stikes Tengku Maharatu Bangun Kampus Empat Lantai
Selasa 28 November 2023
Satu Jam Bersama Gubernur Riau Edy Natar : Mimpi Sang Visioner dan Agamis
Selasa 21 November 2023
Silaturahmi IKBR dengan Plt Gubri, Edy Nasution: Insha Allah Saya Maju
Minggu 01 Oktober 2023
Bravo 28 Usulkan Ganjar-Jokowi Pasangan Pilpres 2024
Rabu 27 September 2023
Hendry Ch Bangun Terpilih Jadi Ketua Umum PWI Pusat 2023-2028
Rabu 20 September 2023
Perginya Dosen Ramah, Humoris, dan Rendah Hati
Senin 18 September 2023
Wow! Ternyata Harga Kontrak Impor LNG Pertamina yang Disidik KPK Jauh lebih Murah dari Harga LNG Domestik
Senin 11 September 2023
Menkominfo Mau Pajaki Judi Online, Ini Kata CERI
Berita Terkini
Minggu 19 Mei 2024, 16:51 WIB
PKKEI: Majelis Hakim Diharap Memahami dengan Benar Kasus LNG Terdakwa Karen Agustiawan Secara Utuh
Minggu 19 Mei 2024, 14:38 WIB
Ini Daftar Sahabat Pengadilan di Sidang Korupsi Mantan Dirut Karen Agustiawan
Minggu 19 Mei 2024, 11:42 WIB
3 Tahun Kepemimpinan Rektor: Sportivitas Persaudaraan Menuju UIN Suska Terbilang dan Gemilang
Sabtu 18 Mei 2024, 19:28 WIB
Ketua DPC PJS Kota Palembang Soroti Pembangunan Terminal Batubara Kramasan
Sabtu 18 Mei 2024, 18:10 WIB
Pernyataan Wan Abu Bakar Berpotensi Primordialisme, Tokoh Riau Edy Natar Nasution Angkat Bicara
Jumat 17 Mei 2024, 22:20 WIB
Dinkes Siak dan Apkesmi Gelar Webinar, Perkenalkan Program ILP
Jumat 17 Mei 2024, 10:57 WIB
Mahasiswa Hukum UIR Raih Best Speaker di Kontes Duta Wisata Riau 2024
Jumat 17 Mei 2024, 10:53 WIB
UIR Terima Bantuan Dana Pendidikan Sebesar Rp 70 Juta dari Bank Syariah Indonesia
Jumat 17 Mei 2024, 10:48 WIB
Viral! Beredar video Harimau Mati Tertabrak Mobil di Tol Permai, Ternyata Begini Faktanya
Jumat 17 Mei 2024, 10:41 WIB
Kisah Kontroversial Pemanggilan Pejabat Eselon 2 di Pemprov Riau: dari Spekulasi hingga Tersangka